Konon motif batik parang rusak diciptakan oleh Panembahan Senopati saat bertapa di pantai Laut Selatan. Terinspirasi dari gulungan ombak yang silih berganti bergerak ke pinggir sampai akhirnya pecah di tanah landai, atau pecah menghantam tebing. Selanjutnya pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, motif parang menjadi pedoman dalam menentukan derajat kebangsawanan seseorang dan menjadi ketentuan yang termuat dalam Pranatan Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta tahun 1927.
Ombak di pinggir pantai yang tidak pernah bosan menghantam tebing atau menjilat kelandaian pasir pantai. Seperti itulah 'pesan moral' dari pengabadian gerakan ombak yang diterakan di atas selembar kain. Ombak tetap bergulung dan bergerak sekalipun sudah pasti hanya akan terhenti dan pecah di pinggir laut.
Semangat untuk terus berupaya. Tidak berupa kesia-siaan (karena sudah pasti akan berakhir di pantai, namun masih juga bergulung menuju pinggir. Tapi lebih pada semangat untuk terus berupaya. Bahkan tebing karang yang sedemikian keras dan kaku sedikit demi sedikit akan terkikis.
Motif batik ini sederhana hanya berupa huruf 'S' yang berulang-ulang berdampingan. Umumnya miring 45 derajat dari arah kain memanjang. Antar barisan parng ini dipisahkan garis dengan motif titik, kotak, atau lingkaran. Dalam perkembangannya, motif utama tetap ada yang berubah adalah ukuran dan warna. Dapat diamati bahwa sekarang dengan teknik printing 'besar' huruf S pada motf parang rusak menjadi sangat variatif. Seperti halnya warnanya. Motif klasik hanya satu warna dan nuansanya dengan dasar putih atau kekuningan.
0 komentar:
Posting Komentar